Pendidikan Sastra
Nama : Nizoey Auzi'ni
NIM : 22016136
Mata Kuliah : Pengantar Pengkajian Kesusastraan
Dosen Pengampu : Abdurrahman, M.Pd.
Tugas : Laporan Bacaan 14
Pendidikan
Sastra
A.
Pendahuluan
1. Latar Belakang
Belakangan ini sastra dianggap kurang penting dan
kurang berperan dalam masyarakat Indonesia hari ini. Padahal Sastra Indonesia
merupakan unsur bahasa yang terdapat di dalam bahasa
Indonesia, berdasarkan garis besarnya
sastra berarti bahasa yang indah atau
tertata dengan baik dan gaya penyajiannya menarik, sehingga berkesan di hati
pembacanya. Namun sering kali kita tidak mengerti apa yang di maksud dengan
sastra, kebanyakan orang menyamakan antara sastra dan bahasa.
Hal ini terjadi karena masyarakat kita saat ini
sedang mengarah ke masyarakat industri sehingga konsep-konsep yang berkaitan
dengan sains, teknologi, dan kebutuhan fisik dianggap lebih penting dan
mendesak untuk digapai daripada untuk mengetahui konsep-konsep yang berkaitan
dengan sastra dan kesustraan.
2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
pentingnya pembelajaran sastra
2. Bagaimana
realitas Sastra Indonesia dalam masyarakat Indonesia pada masa kini
3. Bagaimana
pengajaran sastra di lingkup sekolah
3. Tujuan
1. Untuk
mengetahui pentingnya pembelajaran sasta
2. Untuk
mengetahui realitas Sastra Indonesia dalam masyarakat Indonesia pada masa kini
3. Untuk
mengetahui pengajaran sastra di lingkup sekolah
B.
Pembahasan
Pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di berbagai
jenjang pendidikan sering diaggap kurang penting oleh para guru, apalagi pada
guru yang pengetahuan dan apresiasi sastranya rendah. Hal ini menyebabkan mata
pelajaran yang idealnya menarik dan besar sekali manfaatnya bagi para siswa ini
disajikan hanya sekedar memenuhi tuntutan kurikulum dan cenderung kurang
mendapat tempat di hati siswa. Bila kita kaji secara mendalam, tujuan
pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah dimaksudkan untuk menumbuhkan
keterampilan, rasa cinta, dan penghargaan para siswa terhadap bahasa dan sastra
Indonesia sebagai bagian dari budaya warisan leluhur.
Dengan demikian, tugas guru bahasa dan sastra
Indonesia tidak hanya memberi pengetahuan saja, tetapi juga keterampilan dan
menanamkan rasa cinta, baik melalui kegiatan di dalam kelas ataupun di luar
kelas.
1.
Pentingnya Pembelajaran Sastra
Dosen Universitas Singapura, Dr. Azhar Ibrahim Alwee
mengatakan, pembelajaran sastra sangat penting dalam pembangunan karena akan
mendorong masyarakat bisa bersikap lebih kritis. Pembelajaran sastra akan
mengacu kepada kesadaran sosial yang kritis, sehingga pembangunan akan menjadi
terarah, kata Azhar, saat menjadi pembicara dalam seminar internasional, di
Palembang.
Seminar internasional bahasa, sastra dan budaya
digelar di Palembang, 1-2 Juni 2010 dilaksanakan Forkibastra Balai Bahasa Sumsel.
Menurut Azhar, makna dari sastra dapat mengarahkan kepada pemberdayaan yang
bukan saja membuat orang menjadi tegas, tetapi juga mampu untuk menghadapi
tantangan di masa mendatang. Identitas manusia harus tegas dan bebas dari
ketergantungan, dan itu bisa didapat dalam pelajaran sastra, ujarnya.
Dia menegaskan bahwa sastra merupakan dokumen
kebudayaan yang tidak boleh dianggap bersaingan dengan politik sekarang ini.
Kebersamaan dalam globalisasi mengundang gagasan multibudaya, dengan
menempatkan identitas politik kelompok masing-masing sebagai hak kemanusiaan,
kata dia lagi. Karena itu, pihaknya mengusulkan kurikulum multibudaya yang
dapat diterapkan dalam pembelajaran sastra. Kesemuanya itu, tidak lain
bertujuan untuk menjadikan pemberdayaan identitas budaya lokal yang ampuh, ujar
Azhar. Dia juga berpendapat, umumnya pembelajaran sastra memerlukan nafas baru,
sehingga perlu melakukan pendekatan dalam pengajaran.
2.
Tujuan Pembelajaran Sastra
Tujuan umum pembelajaran sastra merupakan bagian
dari tujuan penyelenggaraan pendidikan
nasional yaitu mewujudkan suasana dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Tujuan pembelajaran sastra di sekolah terkait pada
tiga tujuan khusus di bawah ini.
a. Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan
kemampuan intelektual, serta kematangan
emosional dan social
b. Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk
memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan
dan kemampuan berbahasa
c. Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia
sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Pengajaran sastra membawa siswa pada ranah produktif
dan apresiatif. Sastra adalah
sistem tanda karya seni yang bermediakan
bahasa. Pencipataan karya sastra merupakan keterampilan dan kecerdasan
intelektual dan imajinatif. Karya sastra hadir untuk dibaca dan dinikmati, dimanfaatkan untuk
mengembangkan wawasan kehidupan.
Pembelajaran sastra menurut panduan penerapan KTSP
perlu menekankan pada kenyataan
bahwa sastra merupakan seni yang dapat
diproduksi dan diapresiasi sehingga pembelajaran hendaknya bersifat
produktif-apresiatif. Konsekuensinya, pengembangan materi pembelajaran, teknik,
tujuan, dan arah pembelajaran harus menekankan pada kegiatan apresiati.
Pengembangan kegiatan pembelajaran apresiatif
merupakan usaha untuk membentuk pribadi imajinatif yaitu pribadi yang selalu
menunjukkan hasil belajarnya melalui aktivitas mengeksplorasi ide-ide baru,
menciptakan tata artistik baru, mewujudkan produk baru, membangun susunan baru,
memecahkan masalah dengan cara-cara
baru, dan merefleksikan kegiatan apresiasi dalam bentuk karya-karya yang unik.
Potensi individu seperti itu menurut para ahli pendidikan akan berkembang
jika mendapat dukungan kultur lingkungan yang menghargai percobaan, melakukan
langkah-langkah spekulatif, fokus pada pengembangan ide-ide baru, bahkan
melakukan hal yang tidak dapat dilakukan orang sebelumnya. Semua potensi
dikembangkan melalui pengulangan yang variatif sehingga terbentuk mutu
keterampilan yang terasah.
3.
Realitas Sastra Indonesia dalam Masyarakat Indonesia Kini
Sastra dianggap kurang penting dan kurang berperan
dalam masyarakat Indonesia hari ini. Hal ini terjadi karena masyarakat kita
saat ini sedang mengarah ke masyarakat industri sehingga konsep-konsep yang
berkaitan dengan sains, teknologi, dan kebutuhan fisik dianggap lebih penting
dan mendesak untuk digapai. Sedikitnya perhatian anggota masyarakat terhadap
kegiatan kesastraan dan kebudayaan pada umumnya merupakan salah satu indikasi
adanya kecenderungan tersebut. Kegiatan kesastraan dan kebudayaan dianggap hanya
memberi manfaat nonmaterial, batiniah, sehingga dianggap kurang mendesak dan
masih dapat ditunda.
Kondisi di atas juga terjadi dalam dunia pendidikan.
Perhatian para murid dan pengelola sekolah terhadap mata pelajaran yang
berkaitan dengan sains, teknologi, dan kebutuhan fisik jauh lebih besar bila
dibandingkan dengan mata pelajaran kemanusiaan. Ketiadaan laboratorium bahasa,
sanggar seni, buku bacaan kesastraan, dan berbagai fasilitas lain yang
diperlukan dalam pengajaran merupakan bukti konkret adanya ketidakperhatian
tersebut.
Bila kita menganggap pendidikan merupakan upaya lain
untuk memanusiakan manusia, perhatian terhadap semua materi ajar di sekolah
haruslah seimbang. Seorang guru dapat melakukan hal-hal seperti dibawah ini
untuk mewujudkan pembelajaran sastra di sekolah sehingga mata pelajaran ini
menjadi menarik dan mendapat tempat di hati siswa.
Langkah awal yang perlu dilakukan adalah meyakinkan
siswa bahwa pengajaran sastra tidak hanya menawarkan hiburan sesaat, tetapi
juga akan memberi berbagai manfaat lain bagi siswa. Penikmatan yang apresiatif
terhadap puisi, prosa fiksi, drama dalam berbagai genre akan membuktikan
kemanfaatan tersebut pada siswa.
Selanjutnya, guru pun harus berusaha mengubah teknik
pembelajaran sastra di sekolah. Selama ini pengajaran sastra dan juga bahasa
Indonesia lebih diarahkan pada aspek sejarah dan pengetahuan sehingga siswa
dipacu untuk menghafal, bukan untuk mengahayati karya yang diajarkan.
Kegiatan apresiasi sastra tidak hanya diajarkan
dalam bentuk pembacaan karya sastra oleh siswa. Kegiatan ini dapat juga
diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan dengan berbagai teknik pembelajaran.
Kegiatan deklamasi, lomba penulisan puisi, musikalisasi puisi, dramatisasi
puisi, mendongeng, pembuatan sinopsis, bermain peran, penulisan kritik dan
esei, dan berbagai kegiatan lain dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan apresiasi
sastra pada siswa. Berbagai kegiatan tersebut akan menumbuhkan penghayatan,
pencintaan, dan penghargaan yang relatif baik pada para siswa terhadap mata
pelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
Hal lain yang juga perlu dipikirkan saat ini adalah
pemanfaatan dan pengadaan buku/ bacaan kesastraan di sekolah. Pemerintah, di
satu sisi, telah berusaha melengkapi buku bacaan untuk para siswa melalui
Proyek Pengadaan Buku Bacaan. Meskipun bahan yang dikirimkan ke sekolah belum
memadai, guru seharusnya dapat memanfaatkan sarana yang ada itu untuk memancing
kreativitas membaca dan mencipta pada siswa. Di samping itu, guru dan pihak
sekolah harus juga berusaha membeli bacaan lain, seperti surat kabar, kumpulan
puisi, dan berbagai media lain yang harganya relatif murah.
Kendala lain yang tampaknya juga perlu dicarikan
pemecahannya adalah sistem evaluasi pengajaran sastra dan bahasa yang cenderung
ke aspek kognitif/pengetahuan. Selama ini, ulangan semester dan ebtanas memang
lebih terfokus pada evalusi pengetahuan para siswa. Kalau mau guru dapat
melakukan evaluasi yang mengarah ke penumbuhan keterampilan dan apresiasi masih
dapat dilaksanakan di berbagai kesempatan lain di luar evaluasi di atas.
Evaluasi keterampilan dan apresiasi siswa ini dapat saja dilakukan melalui
penugasan di rumah, kegiatan ekstrakurikuler, dan berbagai kegiatan lain.
Sekarang tinggal lagi mau atau tidakkah guru bahasa/guru kelas memanfaatkan
kesempatan itu untuk evaluasi yang tidak hanya mengagungkan aspek hafalan pada
siswa.
Terakhir, guru bahasa dan pihak sekolah tampaknya
juga perlu mengaktifkan kembali sanggar-sanggar siswa di sekolah. Kegiatan
sanggar di luar jam belajar secara langsung pasti akan berpengaruh terhadap
penumbuhan keterampilan, kecintaan, penghayatan, dan penghargaan yang positif
terhadap sastra dan bahasa Indonesia pada siswa. Bagaimanapun kita tetap
bersepakat bahwa penumbuhan kreativitas, penyaluran bakat/minat, dan pembinaan
moral siswa tidak hanya dilaksanakan pada saat-saat belajar secara formal di
dalam kelas, tetapi juga melalui kegiatan ekstrakurikuler di luar jam belajar.
D. Pengajaran Sastra
Pengajaran sastra di SMP maupun SMA bukan berupa
program pengetahuan budaya. Sastra Indonesia hanya semata-mata menumpang pada
pengajaran bahasa Indonesia dan diberikan hanya selama 2-3 jam per minggu.
Pengajaran sastra di sini lebih banyak kegiatannya
untuk mempelajari ragam bahasa, di sisi-sisi ragam bahasa lainnya. Hal ini
terlihat bahwa pembobotan beban materinya hanya seperenam dari seluruh materi
bidang studi/mata pelajaran Bahasa Indonesia, dengan nama pokok bahasan
Apresiasi Bahasa dan Sastra Indonesia. Dengan pemberian nama ini sudah terlihat
terjadinya penyempitan kedudukan sastra.
Dalam pembelajaran sastra usahakan siswa diminta
untuk mencoba membuat pantun sendiri dengan kreatifitas mereka masing-masing
dengan mengambil tema dari Pendidikan Moral, yaitu pantun didaktis yang berisi
ajakan-ajakan atau pesan-pesan moral. Hal serupa juga bisa diterapkan untuk
pelajaran drama, dimana guru Bahasa Indonesia bekerjasama dengan guru sejarah.
Siswa bisa diberi instruksi tentang aspek-aspek teknis dari drama dan kemudian
diminta untuk membuat pertunjukan drama dengan mengambil tema dari pelajaran
sejarah yang sedang diberikan pada saat itu, mungkin misalnya mengadegankan
kepahlawanan Diponegoro saat ditangkap Jendral De Kock sebagai bentuk ekspresi
dari tragedi. Dalam kegiatan seperti ini kelas akan ditangani oleh dua guru
sekaligus. Pembelajaran dengan pola pengajaran tim (team teaching) berdasar
tema bukan rumpun dan bersifat sementara.
Dengan pola seperti ini siswa akan mendapat dua
nilai sekaligus dalam satu kegiatan pembelajaran, yaitu mata pelajaran Bahasa
dan Sastra Indonesia dan mata pelajaran yang dipadukan materinya, dalam dua
contoh di atas disebutkan mata pelajaran Sejarah dan Pendidikan Moral, dan ini
tidak menutup kerjasama dengan yang lainnya. Mengingat begitu banyaknya
Kompetensi Dasar yang harus dicapai oleh siswa dalam satu tahun pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia.
Diharapkan bahwa dengan cara ini, efesiensi waktu
pembelajaran juga bisa diperoleh dengan kegiatan ini. Beban siswa terhadap
standart kompetensi yang disusun dalam silabus masing-masing guru mata
pelajaran bisa terpenuhi dengan tidak terlalu banyak pengulangan. Mengadakan
kegiatan yang melibatkan siswa secara aktif ini akan meningkatkan kompetensi
siswa dalam sastra tanpa harus menambah rasa kebosanan mereka dan sekaligus
membuat pengajaran bahasa dan sastra Indonesia menjadi lebih menarik dan
meningkatkan daya kreasi siswa.
Sastra tak bisa dan tak perlu diajarkan. Yang bisa
dilakukan oleh seorang guru sastra dalam mengajar adalah mengajak anak didiknya
untuk melihat kemanfaatan sastra. Memposisikan sastra sedemikian rupa pada
tempatnya yang tepat sehingga jelas kaitannya, relevansinya dengan kehidupan
dan proses pembelajaran. Dengan lain kata, seorang guru sastra berdiri di depan
kelas di hadapan murid-muridnya, bagaikan seorang pembela di dalam sebuah
peristiwa pengadilan, untuk membuktikan, untuk menunjukkan, bahwa sastra adalah
ilmu.
Mengajarkan sastra tidak boleh dimulai dengan sastra
itu sendiri, tetapi siapa yang akan mempelajarinya. Lingkungan, latar belakang
dan kebutuhan mereka yang hendak diberikan pelajaran sastra, tidak boleh kalah
penting dari suara karya-karya itu. Tidak seperti pelajaran sejarah, sastra
bukanlah masa lalu, karenanya harus mulai dari aksi-aksi yang nyata.
Kerucut sistim pembelajaran yang mengajak guru
memulai pelajaran sastra seperti pelajaran sejarah sastra, sehingga harus mulai
dengan menghapal apa itu pantun, gurindam, soneta dan seloka, perlu dibalik
total. Pelajaran sastra harus hidup, dimulai dengan apa yang nyata di sekitar
dalam lingkungan mereka yang diajar.
Sebuah sajak, novel, lakon, cerpen, esei dan
sebagainya hanya alat untuk menyampaikan/mengekspresikan gagasan dari
penulisnya/pengarangnya. Di balik cerita, di dalam kata-kata ada rembukan dan
kesaksian. Itulah yang harus ditontonkan kepada mereka yang belajar sastra.
Membaca karya sastra seperti menggali tambang mengeruk, memburu makna-makna
yang bersembunyi di balik kata-kata.
C.
Penutup
Simpulan
Pembelajaran sastra sangatlah penting terlebih pada
jenjang Pendidikan Sekolah Dasar, karena di dalam pembelajaran sastra tersebut
terdapat beberapa aspek humaniora yang dapat mengasah kepekaan sosial,
ketajaman watak, serta dengan mempelajari sastra, seseorang dapat belajar
bagaimana caranya mengharagai karya-karya orang lain, karena pada dasarnya
sastra dapat membantu seseorang lebih memahami kehidupan dan menghargai
nilai-nilai kemanusiaan.
Daftar
Pustaka
Wijaya, Putu. 2011. Pengajaran Sastra.
http://sastra-indonesia.com/2011/03/pengajaran-sastra/. Wibisono, B Kunto.
2010. Pembelajaran Sastra Dorong Sikap Kritis. http://www.antaranews.com/berita/206353/pembelajaran-sastra-dorong-sikap-kritis.
Arif, Mohammad. 2008. Pembelajaran Sasta Secara
Integratif. http://re-searchengines.com/mohamad0708.html.
Hamid, Mukhlis A. Pengajaran Sastra Indonesia Di
Sekolah. http://gemasastrin.wordpress.com/2007/04/20/pengajaran-sastra-indonesia-di-sekolah/.
Pembelajaran Sastra Indonesia di Sekolah.
http://gurupembaharu.com/home/?p=9911.
Komentar
Posting Komentar