Pendekatan Objektif dan Pendekatan Mimetik
Nama : Nizoey Auzi'ni
NIM : 22016136
Mata Kuliah : Pengantar Pengkajian Kesusastraan
Dosen Pengampu : Abdurrahman, M.Pd.
Tugas : Laporan Bacaan 11
Pendekatan
Objektif dan Pendekatan Mimetik
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Pendekatan
dalam penelitian sastra hadir sebagai cara pandang, landasan berpikir, maupun
kerangka (dan atau desain) dalam penelitian. Dalam hal ini pendekatan dalam
penelitian sastra diperlukan kehadirannya senyampang terdapat kerelevanan
dengan sumber data penelitian (karya sastra) dalam penelitian yang dimaksud
serta teori (dan metode) yang akan digunakan. Dengan catatan bahwa penelitian
tersebut memang memerlukan kehadiran pendekatan. Pendekatan penelitian dapat
dikatakan sebagai payung bagi peneliti dan paradigma dalam penelitiannya.
Pendekatan (approach) berarti pandangan awal peneliti terhadap karya sastra, apakah karya sastra tersebut sebagai objek yang mandiri dengan pengertian terlepas dari kepentingan pengarang dan pembaca, apakah karya sastra tersebut sebagai objek yang dikaitkan dengan pengarang (pencipta), apakah karya sastra tersebut sebagai objek yang dikaitkan dengan kepentingan pembaca (penikmat), dan apakah karya sastra tersebu sebagai objek yang dikaitkan dengan kondisi sosial yang melingkunginya.
2. Rumusan Masalah
a. Menjelaskan tentang pendekatan objektif
b. Menjelaskan tentang pendekatan memetik
3. Tujuan penulisan
a. Untuk mengetahui pendekatan
objektif
b. Untuk mengetahui pendekatan
mimetik
B.
Pembahasan
M.H.
Abrams (1976) secara lebih khusus menyebutkan ada empat pendekatan dalam
penelitian sastra. Keempat pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan
ekspresif, objektif, mimetik, dan pragmatik. Jika disejajarkan dengan
pendekatan sebelumnya, yakni intrinsik dan ekstrinsik (Welek dan Warren),
pendekatan objektif sejajar dengan pendekatan intrinsik. Sementara pendekatan
ekspresif, mimetik, dan prgmatik dapat disejajarkan dengan pendekatan
ekstrinsik.
1.
Pendekatan Objektif
Pendekatan
objektif memandang karya sastra sebagai dunia otonom yang dapat dilepaskan dari
dunia pengarang dan latar belakang sosial budaya zamannya sehingga karya sastra
dapat dianalisis (diteliti) berdasarkan strukturnya sendiri. Dengan kata lain,
karya sastra dapat dipahami berdasarkan segi (unsur-unsur) intrinsik yang
melekat pada karya sastra tersebut. Penelitian sastra yang menggunakan
pendekatan objektif berarti penelitian ini menelaah struktur karya sastra
dengan kemungkinan membebaskannya dari dunia pengarang, pembaca, dan situasi
zaman yang melatarbelakanginya.
Dengan
kata lain, pendekatan objektif adalah pendekatan yang memfokuskan perhatian
kepada karya sastra itu sendiri. Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai
struktur yang otonom dan bebas dari hubungannya dengan realitas, pengarang
maupun pembaca. Pendekatan ini juga dapat disejajarkan dengan pendekatan yang
digagas Welek & Waren (1990) sebagai pendekatan intrinsik karena peneliti
lebih memfokuskan penelitiannya pada unsur intrinsik karya sastra yang
dipandang memiliki kebulatan, koherensi, dan kebenaran sendiri.
Secara
sederhana, penerapan pendekatan objektif dalam menganalisis karya sastra, dapat
dijabarkan dengan tiga langkah.
Pertama,
mendeskripsikan unsur-unsur struktur karya sastra. Kedua, mengkaji keterkaitan
makna antara unsur-unsur yang satu dengan yang lainnya. Ketiga, mendeskripsikan
fungsi serta hubungan antarunsur (instrinsik) atas karya yang bersangkutan.
Tiga
langkah tersebut dapat diterapkan dalam menganalisis unsur-unsur yang mesti
dikaji dalam pendekatan objektif sastra.
Pendekatan
objektif bisa dikaji dalam naskah drama, novel, atau puisi. Semuanya memiliki
unsur-unsur intrinsik yang bisa dikaji dengan pendekatan objektif. Seperti pada
puisi “Hujan Bulan Juni” yang sudah tidak asing lagi bagi para kawula muda.
Puisi
“Hujan Bulan Juni” ialah salah satu dari 101 puisi lainnya dalam buku antologi
Hujan Bulan Juni yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damono.
Pertama,
untuk tema. Tema dari puisi "Hujan Bulan Juni" ialah mengisahkan
mengenai cinta terpendam yang tidak tersampaikan. Cinta yang lebih memilih
bersemayam dalam lubuk si pemilik perasaan. Orang itu ragu untuk mengutarakan
perasaannya.
Kedua,
tipografi. Tipografi puisi “Hujan Bulan Juni” ialah disusun rata kiri dengan
huruf kecil di setiap awal lariknya. Terdiri dari 3 bait dan di setiap bait
terdiri dari 4 baris. Tipografi dalam penulisan puisi “Hujan Bulan Juni” di
buku antologi Hujan Bulan Juni terkesan manis dan sederhana.
Ketiga,
perasaan. Perasaan penyair yang tampak dalam puisi "Hujan Bulan Juni"
adalah perasaan orang yang tabah atau sabar meskipun memendam perasaan cinta.
Kesabaran tersebut tampak pada penggunaan kata tabah, arif, dan bijak. Si
pemilik juga ragu mengungkapkan perasaannya hingga ia menghapus jejak-jejaknya
yang tertera pada larik puisi.
Keempat,
nada. Nada puisi "Hujan Bulan Juni" seperti berirama kegetiran. Hal
ini ditunjukkan dengan penggunaan huruf /r/ yang berulang-ulang dalam puisi.
Pilihan kata yang digunakan juga menunjukkan bahwa penyair mengalami keraguan.
Hingga akhirnya memilih diam saja dan mencintai dalam diam.
Kelima,
irama. Irama puisi “Hujan Bulan Juni” terdapat pengulangan frasa tak ada yang
lebih dan hujan bulan juni. Pengulangan ini sangat memengaruhi irama secara
keseluruhan. Ketika seseorang membacakan puisi ini untuk banyak orang,
keberadaan repetisi frasa dan diksi bisa diberi intonasi berbeda-beda oleh
orang yang menyimaknya sehingga bisa mencapai klimaks bagi para pendengar.
Keenam,
gaya bahasa atau majas. Terdapat dua majas dalam puisi “Hujan Bulan Juni”,
yakni majas personifikasi dan majas repetisi. Majas personifikasi adalah majas
yang seakan-akan benda mati itu sanggup atau mampu bersifat dan bertindak
layaknya manusia.
Ini
tampak pada larik tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni. Ini
seakan-akan hujan tersebut bisa memiliki sifat tabah layaknya manusia. Atau
juga dalam larik tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan juni, dihapusmya
jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu.
Hujan
di sana seakan-akan bisa memiliki sifat bijak dan si hujan juga memiliki kaki.
Selanjutnya juga dalam larik tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni,
dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu. Di sini, seakan-akan
hujan bisa merahasiakan sesuatu seperti sifat manusia.
Selain
majas personifikasi, juga ada majas repetisi. Majas repetisi ialah bersifat
pengulangan kata atau frasa dalam karya sastra untuk menegaskan suatu makna
dalam puisi tersebut.
Pengulangan
dalam puisi juga bertujuan untuk menciptakan ritme dalam puisi. Majas repetisi
terkandung dalam larik tak ada yang lebih … dari hujan bulan juni. Ini diulang
tiap awal bait dalam puisi “Hujan Bulan Juni”.
Ketujuh
atau yang terakhir, ialah amanat. Amanat yang bisa dipetik dalam puisi Hujan
Bulan Juni ialah sebisa mungkin untuk selalu sabar, bijak, dan tabah dalam
menjalani sesuatu. Karena tidak semua hal selalu sesuai dengan apa yang kita
harapkan, lalu, menyampaikan perasaan kepada seseorang yang kita cintai tidak
selamanya menjadi buruk.
Mencintai
pada dasarnya ialah ikhlas dan tulus untuk menyayangi seseorang. Tidak minta
timbal balik dan balasan adalah definisi mencintai yang paling tinggi. Namun,
lebih baik mengutarakan perasaan kepada seseorang yang kita cinta, daripada
menyesal tiada guna.
2.
Pendekatan Mimetik
Pendekatan
mimetik yaitu pendekatan yang memandang karya sastra sebagai tiruan atau
pembayangan dunia kehidupan nyata sebagaimana dikemukakan Plato dan
Aristoteles. Plato berpendapat bahwa seni merupakan tiruan alam yang nilainya
jauh di bawah realitas sosial dan ide, sedang Aristoteles menyatakan bahwa
tiruan itu justru membedakannya dari segala sesuatu yang nyata dan umum karena
seni (termasuk karya sastra) merupakan aktivitas manusia.
Pandangan
ini pada akhirnya berkembang jauh sehingga memunculkan sosiologi sastra
(sebagai cabang ilmu dalam sastra maupun sebagai pendekatan dalam penelitian
sastra) yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial atau gambaran
kehidupan masyarakat atau psikologi sastra (baik sebagai cabang ilmu dalam
sastra maupun pendekatan dalam penelitian sastra) yang memandang karya sastra
sebagai dokumen dunia batin masyarakat sebagaimana terwujud dalam dunia batin
pengarang dan (atau melalui) tokoh-tokoh ciptaan pengarang.
Menurut
pandangan tersebut, karya sastra merupakan bentuk persepsi pengarang terhadap
realitas kehidupan sosial suatu zaman sehingga pemahaman sastra berarti
pengkajian hubungan antara karya sastra dan dunia ideologi yang berkembang di
masyarakat dan zamannya. Jika pendekatan mimetik yang digunakan berarti
penelitian tersebut menekankan perhatian atau analisisnya pada ketepatan atau
kesesuaian karya sastra dengan objek yang dilukiskan.
Pendekatan
mimetik merupakan pendekatan yang dalam mengkaji (meneliti) karya sastra dengan
memahami hubungan karya sastra dengan realitas atau kenyataan. Kata mimetik
berasal dari kata mimesis (bahasa Yunani) yang berarti tiruan. Dalam pendekatan
ini karya sastra (produk yang dihasilkan pengarang) dianggap sebagai tiruan
alam atau kehidupan yang sebenarnya.
Untuk
dapat menerapkan pendekatan mimetik dalam penelitian sastra diperlukan sejumlah
data yang berhubungan dengan realitas yang ada di luar karya sastra. Sejumlah
data yang dimaksud, umumnya, berupa latar belakang atau sumber penciptaan karya
sastra yang akan diteliti. Misalnya, novel yang ditulis dan diterbitkan pada
tahun 1920-an yang berbicara topik “kawin paksa”, maka peneliti memerlukan data
yang berkaitan dengan sumber dan budaya pada tahun tersebut, dapat berupa latar
belakang sumber penciptaannya.
Berikut
contoh penerapan pendekatan mimetik pada puisi Sapardi Djoko Damono yang
berjudul " Kupandang Kelam yang Merapat ke Sisi Kita".
siapa itu di sebelah sana, tanyamu tiba-tiba
(malam berkabut seketika) barangkali menjemputku
barangkali berkabar penghujan itu
kita terdiam saja di pintu; menunggu
atau ditunggu, tanpa janji terlebih dahulu;
kenalkah ia padamu, desakmu (kemudian sepi
terbata-bata menghardik berulang kali)
baying-bayangnya pun hampir sampai di sini
jangan ucapkan selamat malam
undurlah pelahan(pastilah sudah gugur hujan di hulu
sungai itu)
itulah Saat itu, bisikku
kukecup ujung jarimu; kau pun menatapku:
bunuhlah ia, suamiku (kutatap kelam itu
baying-bayang yang hampir lengkap mencapaiku
lalu kukatakan: mengapa Kau tegak di situ)
(1968)
"Kupandang
Kelam yang Merapat ke Sisi Kita", adalah salah satu puisi karangan Sapardi
Djoko Damono tahun 1968, yang dari kata “kelam” pada judulnya saja kita sudah
bisa menebak bahwa puisi ini menceritakan tentang kematian. Seperti karyanya
yang lain, penyair senior ini memang sangatlah ulung dalam mengangkat tema-tema
murung yang cocok dibaca dalam kesunyian, dan dihayati dalam kesendirian.
Karya
ini menceritakan tentang kehidupan sepasang suami istri yang mana hanya si
“suami” sajalah yang didatangi oleh kematian. Kematian yang disambut dengan
penuh gelisah dan kepasrahan tergambar pada kata “kelam”. Kematian ialah suatu
hal yang tetap menjadi sebuah nasib milik masing-masing, kematian itu pasti
datang kepada setiap makhluk yang bernyawa. Terlihat pada bait pertama, Beliau
menggunakan kata “ke sisi kita”, tetapi hanya si “kupandang” sajalah yang
sebenarnya mampu menghayati kematian yang datang padanya. Suasana kematian
sedih;sendiri itulah yang tergambar dalam bait pertamanya.
Bait
kedua, Beliau menggambarkan seseorang yang sedang menunggu datangnya kematian,
yang sebenarnya tidak ditunggu pun pasti akan datang “tanpa janji terlebih
dahulu”. Saat kematian itu terlihat semakin dekat, dengan penuh gelisah sang
istri bertanya “kenalkah ia padamu”, dan sang suami hanya menjawabnya dengan
penuh rasa gelisah dan terbata-bata “(kemudian sepi terbata-bata menghardik
berulang kali)”.
Bait
ketiga, Pak Sapardi menyebutkan kematian yang sudah didepan mata “hampir sampai
di sini” diwakilkan dengan “baying-bayangnya pun”. Dilanjut dengan kata “jangan
ucapkan selamat malam;” penyair mengungkapkan sambutlah kematian itu dengan
sikap hormat, menyisih, dan berikanlah jalan kepadanya, dan berbicara pelan
“itulah Saat itu, bisikku”.
Bait
terakhir, “kukecup ujung jarimu; kau pun menatapku:” menggambarkan sang suami
yang mengecup ujung jari Istrinya yang sudah pasrah dengan keadaan. Sambil
menatap suaminya, ia berkata “bunuhlah ia, suamiku”, “bunuhlah” di sini
bermakna tolaklah; hentikanlah kematian yang datang kepadamu. Tetapi, mustahil
seseorang menolak kematian. Maka, si suami sendirilah yang akhirnya harus
menghadapi kematian yang datang lewat kelam itu. Di sini, kita dapat mengetahui
bahwa kematian yang digambarkan oleh Pak Sapardi sebagai sebuah kesendirian.
Suasana “kelam; sedih,sunyi", kematian itulah yang bisa pula dihayati oleh
orang lain.
C.
Penutup
Kesimpulannya adalah pendekatan objektif adalah pendekatan yang memfokuskan perhatian kepada karya sastra itu sendiri. Sedangkan pendekatan mimetik adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai tiruan atau pembayangan dunia kehidupan nyata.
Daftar
Pustaka
Baligh, Muhammad Jammal. 2014.
Pendekatan Ekspresif. Makalah. Universitas Wiralodra. Indramayu.
Djojosuroto, Kinayati. 2006.
Pengajaran Puisi Analisis dan Pemahaman. Bandung: Nuansa.
Indriani, Sri. 2015. Analisis
Sastra dengan Pendekatan Pragmatik. (Online).
https://lotusfeet16.wordpress.com/2015/06/18/analisis-sastra-dengan-pendekatan-pragmatik/
(diakses Januari 2017).
Pradotokusumo, Partini Sardjono.
2005. Pengkajian Sastra.Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Qutbi, dkk. 2013. Pendekatan
Mimetik: diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah "Teori Sastra"
pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang diampu oleh:
Imas Juidah, M. Pd. Makalah. Universitas Wiralodra. Indramayu.
Semi, Atar. 1993. Metode Penelitian
Sastra. Bandung: Angkasa.
Teeuw.A. 1984. Satra dan Ilmu
Satra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wellek dan Warren. 1989. Teori
Kasusastraan. Gramedia Pustaka: Jakarta.
Komentar
Posting Komentar