Interpretasi Terhadap Karya Sastra

 

Nama                           : Nizoey Auzi'ni

NIM                            : 22016136

Mata Kuliah                : Pengantar Pengkajian Kesusastraan

Dosen Pengampu        : Abdurrahman, M.Pd.

Tugas                          : Laporan Bacaan 13

 Interpretasi Terhadap Karya Sastra

A. Pendahuluan

1. Latar Belakang

Sastra adalah sebuah karya yang terbuka terhadap berbagai interpretasi (penafsiran). Interpretasi merupakan proses menyampaikan pesan (makna) yang secara eksplisit dan implisit termuat  dalam karya sastra. Interpreter adalah juru bahasa atau penerjemah pesan yang terdapat dalam karya sastra. Pesan  yang tidak begitu saja langsung jelas kepada setiap pembaca oleh karena bahasa yang banyak digunakan dalam karya sastra adalah bahasa konotatif. Bahasa yang memungkinkan berbagai penafsiran. Karena cirinya yang demikian inilah, maka dibutuhkan metode interpretasi yang cocok dan hermeneutika sangat memungkinkan untuk maksud tersebut. Hermeneutika dikenal sebagai ilmu interpretasi makna dari sebuah teks. Lebih terkait dengan teks simbolik yang memiliki beberapa makna (multiple meaning). Hermeneutik dianggap sebagai  teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap teks.

2. Rumusan Masalah

  1. Mengenal interpretasi dalam karya sastra
  2. Apa Jenis-jenis interpretasi
  3. Jelaskan evaluasi karya sastra

3. Tujuan

  1. Untuk mengetahui interpretasi dalam karya sastra
  2. Untuk mengetahui jenis-jenis interpretasi
  3.  Untuk mengetahui evaluasi karya sastra

B. Pembahasan

1. Pengertian Interpretasi Karya Sastra

Sastra adalah sebuah karya yang terbuka terhadap berbagai interpretasi (penafsiran). Interpretasi merupakan proses menyampaikan pesan (makna) yang secara eksplisit dan implisit termuat dalam karya sastra. Interpreter adalah juru bahasa atau penerjemah pesan yang terdapat dalam karya sastra. Pesan  yang tidak begitu saja langsung jelas kepada setiap pembaca oleh karena bahasa yang banyak digunakan dalam karya sastra adalah bahasa konotatif. Bahasa yang memungkinkan berbagai penafsiran. Karena cirinya yang demikian inilah, maka dibutuhkan metode interpretasi yang cocok dan hermeneutika sangat memungkinkan untuk maksud tersebut.

Hermeneutika dikenal sebagai ilmu interpretasi makna dari sebuah teks. Lebih terkait dengan teks simbolik yang memiliki beberapa makna (multiple meaning). Hermeneutik dianggap sebagai teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap teks. Apa yang diucapkan atau ditulis manusia mempunyai makna lebih dari satu bila dihubungkan dengan konteks yang berbeda.  Pada hermeneutika dikenal istilah verstehen yaitu cara mengembangkan pengetahuan berdasarkan kemampuan manusia memahami pikiran, pandangan, perasaan, cita-cita, dorongan dan kemauan orang lain. Dalam kaitan dengan pemaknaan karya sastra, pembacalah yang berperan penting dalam penginterpretasian makna teks.

Lingkaran hermeneutika (circle hermeneutis) merupakan sebuah cara interpretasi makna dalam studi sastra. Pada  lingkaran ini dipahami bahwa objek dibatasi oleh konteks-konteks.Untuk memahami bagian-bagian harus dalam konteks keseluruhan dan sebaliknya memahami keseluruhan harus memahami bagian per bagian. Dengan demikian, pemahaman ini berbentuk lingkaran.  Berdasarkan cara penginterpretasian yang dikenal dengan istilah lingkaran hermeneutika tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa penafsiran terhadap teks dalam studi sastra pada dasarnya terjadi dalam prinsip yang berkesinambungan.

 

2. Jenis-Jenis Interpretasi

 Jenis-jenis interpretasi dapat dibedakan enam jenis pokok, yaitu :

  1. Penafsiran yang bertitik tolak dari pendapat, bahwa teks sendiri sudah jelas. Menurut pandangan ini, maka isyarat-isyarat dan susunan teks membuka kesempatan bagi seorang pembaca yang kompenten untuk menemukan arti yang tepat. Contoh-contoh mengenai tipe penafsiran ini kita jumpai dalam analisa-analisa yang di buat oleh New Criticism. Beberapa ahli hermeneutik, seperti emil staiger, mendukung pendapat ini mengenai penafsiran. Seseorang juru tafsir “yang mempunyai perasaan halus mengenai bahan yang bersangkutan “ dapat mengungkapkan arti teks itu seluruhnya karena ia menghayati (verstehen) materinya.
  2. Penafsiran yang berusaha untuk menyusun kembali arti historik. Dalam pendekatan ini si juru tafsir dapat berpedoman pada maksud si pengarang seperti nampak dari teks sendiri atau dari data diluar teks. Selain itu usaha penafsiran dapat dilakukan dengan cara menyusun kembali “Cakrawala harapan” para pembaca pada waktu itu. Demikian Gunter Gremm pernah mencoba menyusun kembali latar belakang sosiobudaya dan pandangan mengenai sastra yang hidup dalam batin mereka yang membaca drama borjuis Lessing, Emilia Galotti (1772). Dengan karangan ini lessing sebetulnya ingin mengeritik  keadaan di kalangan istana,  tetapi sidang pembaca terbatas pada cakrawala psikologi-emosional, dan tidak menduga akan terlibat dalam kritik politik.
  3. Penafsiran hermeneutik baru yang terutama diwakili oleh Gadamer berusaha memperpadukan masa silam dan masa kini. Si juru tafsir sadar, bahwa ia berdiri di tengah-tengah suatu arus sejarah yang menyangkut baik penerimaan maupun penafsiran  : cara ia mengerti sebuah teks turut dihalkan oleh tradisi. Selain itu si juru tafsir ditentukan pula oleh individualitasnya dan masyarakatnya. Penafsiran terjadi sambil “meleburkan cakrawala masa silam dan masa kini”. Yang menjadi sasaran terkhhir adalah agar si juru tafsir memahami teksnya dan menerapkan teks “yang baku dan lepas dari keterikatan waktu” pada situasinya sendiri.
  4. Tafsiran-tafsiran yang dengan sadar disusun dengan bertitik tolak pada pandangan sendiri mengenai sastra. Ini sering kali dilakukan dengan potensi bahwa kita dapat menunjukkan arti teks yang pokok. Dalam kelompok ini kita jumpai penafsiran marxis dan feminis. Menurut suatu pendekatan marxis, maka George Eliot dalam novelnya The Mill on the Floss (1860) lewat bentuk literer ingin memperdamaikan pertentangan antara kapitalisme kota denagn individu-individu di dalam masyarakat desa yang diperas oleh kota. “kesatuan organik” yang terwujud dalam bentuk literer diharapkan melerai konflik-konflik ideologi. Demi kakaknya Tom, Megiie bunuh diri dan dengan berbuat itu ia sekaligus memilih kebebasan individu dan mengutamakan Tom “Yang dinodai oleh kota dan kapitalisme”. Konflik diredupkan oleh literer. Dari sudut kaum feminis diarahkan perhatian kepada citra pada wanita pada zaman Ratu Victoria; ini juga mempengaruhi pengarang wanita, Eliot itu; dalam tulisan-tulisannya sang tokoh wanita tampil sebagai seorang penolong, seroang pamong yang tentu saja selalu akan mendampingi suaminya.
  5. Tafsiran-tafsiran yang bertitik pangkal pada suatu problematik tertentu, misalnya permasalahan psikologi atau sosiologi. Dengan demikian terjadi pnafsiran-bagian: bukan kebenaran yang ingin ditampilkan, melainkan sahnya suatu penafsiran pada suatu bidang terbatas.
  6. Tafsiran-tafsiran yang tidak langsung berusaa agar secara memadai sebuah teks diartikan, melainkan hanya ingin menunjukan kemungkinan-kemungkinan yang tercantum dalam teks, sehingga pembaca sendiri dapat menafsirkannya. Pendekatan yang berkiblat pada pembaca disebut estetik-resptif. Pengarang mempergunakan sarana-saran struktural, retorik, dan stilistik, tetapi ada juga bidang-bidang yang dibiarkannya “kosong”: peristiwa-peristiwa tdak diceritakan secara lengkap, tokoh-tokoh tidak  dilukiskan dengan bulat., diajukan teka-teki tetapi tidak dijawab. Sarana yang digunakan serta bidang-bidang “kosong” mengaktifkan pembaca. Tafsiran-tafsiran estetik-resptif bertujuan menunjukkan di mana dan bagaiman teks memaksa pembaca untuk bersikap aktif, agar teks itu dapat ditafsirkan sebagai teks pembaca sendiri. Sering juga ditunjukkan di mana teks membatasi kebebasan pembaca dalam menafsirkannya.

3. Evaluasi Karya Sastra

Kritik sastra adalah pertimbangan baik buruk karya sastra, pertimbangan karya seni atau tidaknya dalam kata pertimbangan terkandung arti memberi nilai sebab itu, dalam kritik sastra tak dapat ditinggalkan pekerjaan menilai. Karya sastra adalah termasuk karya seni, seperti halnya karya-karya seni lainnya. Seni musik, seni lukis, seni tari, dan sebagainya. Didalamnya sudah mengandung penilaian seni. Dan kata seni ini berhubugan dengan penegertian “indah” atau “keindahan”. Kembali pada karya sastra, karya sastra sebagai karya seni memerlukan pertiimbangan, memerlukan penilaian akan “seninya”. Sampai sejauh manakah nilai seni suatu karya sastra ataupun mengapakah suatu karya sastra dikatakan mempunyai nilai seni, sedang karya sastra yang lain kurang atau tidak mempunyai nilai seni atau dengan kata lain mengapakah suatu karya sastra ini “indah” sedangkan karya sastra lain tidak.

Di depan telah pernah dikutip pendapat rene  wellek bahwa kita tak dapat memahami dan menganalisis karya seni tanpa menunjuk kepada nilai, karena kalau kita menyatakan suatu struktur sebagai karya seni, kita sudah memakai timbangan penilaian. Jadi, bila mengeritik karya sastra tanpa penilaian, maka karya sastra yang kita kritik itu tetap tidak dapat kita pahami baik-buruknya, atau berhasil tidaknya sastrawan mengungkapkan pengalaman jiwanya. Membcarakan atau menganalisis karya sastra tanpa pembicaraan penilaian menjadi kehilangan sebagian artinya, kehilangan “rasanya” , karena dalam karya sastra yang menarik adalah sifat seninya, dan sifat estetikanyalah yang dominan dalam karya sastra. Sebab itu, pembicaraan karya sastra sebagai karya seni yang harus disertai penilaian. Kritik sastra tidak dapat dipisahkan dengan penilaian.

Syarat-syarat harus dipenuhi supaya karya sastra dapat dikatakan bernilai, sebagai berikut.

Kekurangan pengertian tentang cara menilai ini kerap kali menimbulkan kesesatan dan penilaian yang tidak tepat. Sering hal ini menyebabkan orang menilai karya sastra menyimpang dari hakikat dan guna (fungsi) karya sastra, atau melakukan kepalsuan dalam menilai karya sastra sebagai karya seni, hanya menjadi alat propaganda yang sama nilainya dengan teks pidato misalnya.

Aoh Kartahadimadja (Beberapa paham angkatan 45. Tintamas, Jakarta, hlm. 13). Mengemukakan bagaimana H.B. Jassinmenyaring sajak-sajak yang diterimanya, maka syarat-syarat pertama yang diletakannya ialah kepada keindahan dan barulah pada moral. Baik keindahan atau moral itu subyektif, kata Aoh! Kalau demikian di manakah batasan-batasan yang menentkan baik buruknya suatu sajak? Kemudian dijawabnya:

“Sebuah keindahan seni biasanya tidak perlu menuntut pengertian yang diletakkan dalam hasil-seni itu. Apabila keindahan terasa, cukuplah bagi sipendengar atau sipeninjau untk menerimanya. Akan tetapi bila pengertian tu didapatnya, maka lebih senanglah ia”.

Dalam menjawab bagaimana baik-buruknya sajak, di sini Aoh menggunakan perasaan intuitif saja hingga di sini tidak ada ketentuan apakah dasar-dasar konkret untuk menentukan indah tidaknya karya sastra. Ini tentu tidak cukup bagi kita yang menginginkan kiteria-kriteria yang tertentu dan terang untuk menentukan nilai sajak (karya sastra). Dalam kutipan di atas, Aoh tidak menganalisis hubungan nilai, hakikat sastra, dan fungsi seni sastra hingga jawabnya sangat subjektif dan tidak jelas. Sebab itu, betapa sangat pentingnya dalam menilai karya sastra untuk mengetahui hubungan nilai, hakikat, fungsi, dan penilaian karya sastra, sebagai berikut.

“Bagaimana orang menilai dan menentukan nilai sastra yaitu harus kita jawab dengan definisi-definisi. Seharusnya orang menilai seni sastra seperti adanya dan menaksir nilai itu menurut kadar sastra. Hakikat, fungsi, dan penilaian erat berhubungan.”

 

C. Penutup

Simpulan

Sastra adalah sebuah karya yang terbuka terhadap berbagai interpretasi (penafsiran). Interpretasi merupakan proses menyampaikan pesan (makna) yang secara eksplisit dan implisit termuat dalam karya sastra. Interpreter adalah juru bahasa atau penerjemah pesan yang terdapat dalam karya sastra. Pesan  yang tidak begitu saja langsung jelas kepada setiap pembaca oleh karena bahasa yang banyak digunakan dalam karya sastra adalah bahasa konotatif. Bahasa yang memungkinkan berbagai penafsiran. Karena cirinya yang demikian inilah, maka dibutuhkan metode interpretasi yang cocok dan hermeneutika sangat memungkinkan untuk maksud tersebut. Hermeneutika dikenal sebagai ilmu interpretasi makna dari sebuah teks.

 

Daftar Pustaka

Luxemberg, Jan van dkk. (1986). Pengantar Ilmu Sastra, Jakarta: PT. Gramedia.

Pradopo, Rachmat Djoko. (2007). Prinsip-prinsip Kritik sastra, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Sastra, Kritik Sastra, dan Sejarah Sastra Serta Kaitannya

GENRE SASTRA MODERN

Kegunaan Sastra