Genre Sastra Klasik
Nama : Nizoey Auzi’ni
NIM : 22016136
Mata Kuliah : Pengantar Pengkajian
Kesusastraan
Dosen Pengampu : Dr. Abdurahman, M.Pd.
GENRE SASTRA KLASIK
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Sastra Melayu klasik adalah sastra yang berbentuk lisan yang tercipta dari suatu ujaran atau ucapan. Sastra Melayu klasik masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya agama Islam pada abad ke-13. Sastra Melayu klasik termasuk bagian dari karya sastra Indonesia angkatan tahun 1870 – 1942, yang berkembang di lingkungan masyarakat Sumatera seperti Langkat, Tapanuli, Minangkabau dan daerah Sumatera lainnya. Pada dasarnya, Sastra Melayu lama atau klasik bersifat verbalisme, yaitu ujaran/ucapan dari mulut ke mulut. Hal ini berdampak pada pemaknaan penerima ujaran tersebut.
2. Rumusan Masalah
a. Defenisi genre sastra klasik nusantara
b. Karakteristik genre sastra klasik nusantara
c. Sastra lisan nusantara
d. Situasi genre sastra klasik nusantara
3. Tujuan Masalah
a. Untuk mengetahui definisi genre sastra klasik nusantara
b. Untuk mengetahui karakteristik genre sastra klasik nusantara
c. Untuk mengetahui sastra lisan nusantara
d. Untuk mengetahui situasi genre sastra klasik nusantara
B. Pembahasan
1. Defenisi Genre Sastra Klasik Nusantara
Sastra Melayu Klasik adalah sastra lama yang lahir pada masyarakat lama atau tradisional yakni suatu masyarakat yang masih sederhana dan terikat oleh adat istiadat.
Pada awalnya bentuk sastra merupakan cerita rakyat yang disampaikan secara lisan dari mulut ke mulut dan turun temurun. Menurut A. Ikram, dalam bukunya Filologi Nusantara (Jakarta: Pustaka Jaya 1991, hal. 220) Sekarang cerita rakyat ditulis dan diterbitkan menjadi buku, seperti halnya cerpen atau novel.
Sastra melayu klasik sebenarnya merupakan karya sastra indonesia yang dihasilkan antara tahun 1870 sampai dengan tahun 1942, yang pada waktu itu berkembang dilingkungan masyarakat sumatera seperti “minangkabau,langkat, tapanuli dan daerah sumatera lainnya”, orang tionghoa dan masyarakat indo-eropa.
Karya sastra pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat dan terjemahan novel barat. Sastra tersebut disebut sebagai sastra melayu klasik karena sastra tersebut berkembang di daerah melayu pada masa sebelum dan sesudah islam hingga mendekati tahun 1920-an di masa balai pustaka.
2. Ciri-Ciri Sastra Klasik Nusantara
a. Anonim
Anonim dalam artian tidak diketahui siapa pengarangnya, ini disebabkan karena tempo dulu tidak banyak orang yang mengejar popularitas sehingga pengarangnya lebih fokus untuk menyajikan maha karya yang menitikberatkan pada fungsi cerita.Beberapa contoh dari karya sastra melayu klasik pada umumnya terdapat di setiap cerita-cerita klasik, seperti “Hikayat hang tuah”, Hikayat raja indra”, “hikayat indra bangsawan”, “Hikayat malim demam”.
b. Bertema Istana sentris
Jenis ceritanya berlatar belakang istana. Tokohnya biasanya raja atau pangeran yang sakti dan kisahnya mengenai percintaan. Akhir cerita selalu bahagia.
c. Bernilai budaya lokal
Ciri yang ketika dari karya sastra melayu klasik adalah penciptaan karya sastra melayu klasik biasanya mengusung budaya lokal, sehingga dari Cerita kaya sastra melayu klasik pembaca bisa mendapat gambaran moral masyarakat yang hidup pada jaman dulu
d. Disebar secara lisan
Ciri yang terakhir ialah disebarkan secara lisan. penyebab utamanya adalah pergerakan zaman dahulu sangatlah lambat jika dibandingkan dengan konvoi masyarakat di zaman modern ini. Oleh karena itu, penyebaran budaya dan cerita secara lisan akan lebih mempercepat tersebarnya cerita dibandingkan dengan menggunakan media tulisan. Selain itu, melalui budaya lisan, masyarakat juga mampu lebih intens memberikan nilai-nilai positif nan terdapat di dalam cerita sehingga pesan moral yang terdapat di dalamnya akan sampai kepada pendengar dengan lebih cepat dan efektif.
e. Didaktis
Memberikan pesan mendidik kepada masyarakat baik pesan moral maupun pesan keagamaan atau religius.
f. Tradisional
Mempertahankan kebiasaan masyarakat jaman dulu atau adat istiadat.
g. Klasik imitatif
Bersifat tiruan atau kebiasaan tiru-meniru yang turun-menurun.
h. Universal
Dapat berlaku dimana saja, kapan saja, siapa saja.
Untuk sastra melayu klasik ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni:Berbentuk prosa: Sejarah atau Silsilah, Hikayat, Sage, Dongeng, Legenda, Fabel, Mitos.Berbentuk puisi: Soneta, Stanza, Puisi, Karmina, Pantun, Gurindam, Seloka, Talibun, Bidal, Mantra.
3. Sastra Lisan
Sastra lisan adalah bagian dari tradisi yang berkembang di tengah rakyat jelata yang menggunakan bahasa sebagai media utama. Sastra lisan ini lebih dulu muncul dan berkembang di masyarakat daripada sastra tulis. Dalam kehidupan sehari-hari, jenis sastra ini biasanya dituturkan oleh seorang ibu kepada anaknya, seorang tukang cerita pada para pendengarnya, guru pada para muridnya, ataupun antar sesama anggota masyarakat. Untuk menjaga kelangsungan sastra lisan ini, warga masyarakat mewariskannya secara turun temurun dari generasi ke generasi. Sastra lisan sering juga disebut sebagai sastra rakyat, karena muncul dan berkembang di tengah kehidupan rakyat biasa.
Sastra lisan ini dituturkan, didengarkan dan dihayati secara bersama-sama pada peristiwa tertentu, dengan maksud dan tujuan tertentu pula. Peristiwa-peristiwa tersebut antara lain berkaitan dengan upacara perkawinan, upacara menanam dan menuai padi, kelahiran bayi dan upacara yang bertujuan magis. Sastra lisan sangat digemari oleh warga masyarakat dan biasanya didengarkan bersama-sama karena mengandung gagasan, pikiran, ajaran dan harapan masyarakat. Suasana kebersamaan yang dihasilkan dari sastra lisan berdampak positif pada menguatnya ikatan batin di antara anggota masyarakat. Dalam konteks ini, bisa dilihat bahwa sastra lisan juga memiliki fungsi sosial, disamping fungsi individual. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa memudarnya tradisi sastra lisan di masyarakat merupakan salah satu indikasi telah memudarnya ikatan sosial di antara mereka, dan sebaliknya.
Secara historis, jumlah karya sastra yang bersifat lisan lebih banyak dibanding dengan sastra tulis. Di antara jenis sastra lisan tersebut adalah pantun, peribahasa, nyanyi panjang, dodoi, koba dll. Gurindam, dongeng, legenda dan syair pada awalnya juga merupakan bagian dari tradisi lisan. Namun, perkembangannya mengalami perubahan ketika jenis sastra ini menjadi bagian dari kehidupan di istanaistana Melayu yang telah terbiasa dengan tradisi tulis. Sehingga gurindam, dongeng, legenda dan syair berkembang menjadi bagian dari tradisi tulis.
1. Pantun
Pantun adalah bentuk puisi yang terdiri atas empat baris yang bersajak bersilih dua-dua (pola ab-ab), dan biasanya, tiap baris terdiri atas empat perkataan. Dua baris pertama disebut sampiran (pembayang), sedangkan dua baris berikutnya disebut isi pantun.Dalam kehidupan masyarakat Melayu sehari-hari, pantun merupakan jenis sastra lisan yang paling populer.
2. Peribahasa
Peribahasa adalah ungkapan tradisional yang terdiri dari kalimat ringkas padat, berisi perbandingan, perumpamaan, nasehat, prinsip hidup ataupun aturan tingkah laku.Ada dua jenis peribahasa, yaitu peribahasa yang memiliki arti lugas dan yang memiliki arti simbolis. Peribahasa yang berarti lugas ada dua: bidal dan pepatah, sedangkan yang berarti simbolis adalah perumpamaan.
3. Cerita Rakyat
Cerita rakyat dapat diartikan sebagai ekspresi budaya suatu masyarakat melalui bahasa tutur yang berhubungan langsung dengan berbagai aspek budaya, seperti agama dan kepercayaan, undang-undang, kegiatan ekonomi, sistem kekeluargaan, dan susunan nilai sosial masyarakat tersebut. Dahulu, cerita rakyat diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam masyarakat tertentu.
4. Dodoi / Nyanyi Budak
Lagu dodoi (lullabies) adalah bagian dari genre tradisi lisan orang Melayu di nusantara. Ada yang mengatakan bahwa, lagu dodoi adalah nyanyian rakyat paling tua, yang lahir dari tengah kehidupan rakyat biasa, karena itu, tema-tema lagu juga berkaitan dengan kehidupan harian mereka. Dalam lagu dodoi tercermin kepercayaan, pikiran, keinginan dan harapan rakyat.
5. Nyanyi Panjang / Koba
Nyanyi panjang merupakan jenis sastra lisan bercorak naratif (cerita) yang dipertunjukkan oleh tukang nyanyi panjang dengan cara dinyanyikan atau dilagukan. Dari namanya, nyanyi panjang, terdapat dua kata: nyanyi dan panjang. Nyanyi merujuk pada cara sastra lisan itu dipertunjukkan, dan panjang merujuk pada waktu yang diperlukan dalam penyampaiannya. Dalam pertunjukan nyanyi panjang, ada empat unsur yang saling berkaitan dan mempengaruhi yaitu: tukang cerita, cerita, suasana pertunjukan dan penonton. Nyanyi panjang ini murni hasil kreatifitas masyarakat dan menjadi milik bersama, kemudian diwariskan secara turun temurun dengan cara berguru pada tukang cerita. Tidak ada buku rujukan yang mereka jadikan pegangan, karena itu, nyanyi panjang termasuk kategori kelisanan primer (primary oral). Di antara ciri nyanyi panjang adalah: gaya bahasa bercorak prosa lirik atau prosa berirama; banyak pengulangan; struktur cerita seperti hikayat Melayu lainnya yaitu: pengenalan, pengembaraan dan penyelesaian; dan diawali dengan pantun bebalam. Disebut bebalam, karena nyanyian pantunnya mirip dengan suara burung balam. Dalam kehidupan sehari-hari, terdapat lebih kurang 97 nyanyi panjang.
6. Mantra
Mantra bisa diartikan sebagai susunan kata yang berunsur puisi (seperti rima dan irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 2001). Dalam sastra Melayu lama, kata lain untuk mantra adalah jampi, serapah, tawar, sembur, cuca, puja, seru dan tangkal. Mantra termasuk dalam genre sastra lisan yang populer di masyarakat Melayu, sebagaimana pantun dan syair. Hanya saja, penggunaannya lebih eksklusif, karena hanya dituturkan oleh orang tertentu saja, seperti pawang dan bomoh (dukun). Menurut orang Melayu, pembacaan mantra diyakini dapat menimbulkan kekuatan gaib untuk membantu meraih tujuan-tujuan tertentu. Secara umum, mantra dapat dibagi ke dalam empat jenis berdasarkan tujuan pelafalannya, yaitu: (1), mantra untuk pengobatan; (2), mantra untuk pakaian atau pelindung diri; (3), mantra untuk pekerjaan; dan (4), mantra adat-istiadat (Majelis Peperiksaan Malaysia: 2005).
Dari segi bentuk, mantra sebenarnya lebih sesuai digolongkan ke dalam bentuk puisi bebas, yang tidak terlalu terikat pada aspek baris, rima dan jumlah kata dalam setiap baris. Dari segi bahasa, mantra biasanya menggunakan bahasa khusus yang sukar dipahami.
4. Situasi Bahasa Genre Sastra Klasik Nusantara
Sastra Melayu atau Kesusastraan Melayu adalah sastra yang hidup dan berkembang di kawasan Melayu. Sastra Melayu mengalami perkembangan dan penciptaan yang saling mempengaruhi antara satu periode dengan periode yang lain. Situasi masyarakat pada jaman sebelum Hindu, jaman Hindu, jaman peralihan dari Hindu ke Islam, dan jaman Islam, berpengaruh kuat pada hasil-hasil karya sastra Melayu. Terjadi hubungan yang erat antara tahap perkembangan, kehadiran genre, dan faktor lain di luar karya sastra.
Sastra Melayu berkembang pesat pada jaman Islam dan sesudahnya, karena tema-tema yang diangkat seputar kehidupan masyarakat Melayu, meskipun beberapa ada pengaruh asing. Sebelum jaman Islam, konteks penceritaannya lebih berorientasi ke wilayah di luar Melayu, yaitu India dengan latar belakang kebudayaan Hindu.
Yang dimaksud dengan Sastra Melayu Klasik adalah sastra yang hidup dan berkembang di daerah Melayu pada masa sebelum dan sesudah Islam hingga mendekati tahun 1920-an di masa Balai Pustaka. Masa sesudah Islam merupakan zaman dimana sastra Melayu berkembang begitu pesat karena pada masa itu banyak tokoh Islam yang mengembangkan sastra Melayu.
Kesusastraan Melayu sebelum Islam tidak ada nuansa Islam sama sekali dan bentuknya adalah sastra lisan. Isi dan bentuk sastranya lebih banyak bernuansa animisme, dinamisme, dan Hindu-Budha, dan semua hasil karya tersebut dituangkan dalam bentuk prosa dan puisi. Untuk puisi, tampak tertuang ke dalam wujud pantun, peribahasa, teka-teki, talibun, dan mantra. Bentuk yang terakhir ini (mantra), sering dikenal dengan jampi serapah, sembur, dan seru. Sedangkan bentuk prosa, tampak tertuang dalam wujud cerita rakyat yang berisi cerita-cerita sederhana dan berwujud memorat (legenda alam gaib yang merupakan pengetahuan pribadi seseorang), fantasi yang berhubungan dengan makhluk-makhluk halus, hantu dan jembalang.
Perkembangan kesusastraan Melayu sesudah kedatangan Islam ditandai dengan penggunaan Huruf Arab yang kemudian disebut Tulisan Jawi atau Huruf Jawi, yang dalam perkembangannya dikenal dengan istilah Arab Melayu. Hal ini dikarenakan masyarakat Melayu merasa bahwa tulisan tersebut telah menjadi milik dan identitasnya. Huruf Jawi ini diperkenalkan oleh para pendakwah Islam untuk membaca al-Qur`an dan menelaah berbagai jenis kitab dari berbagai disiplin ilmu. Perkembangan penulisan ini sangat pesat karena Islam memperbolehkan semua orang untuk menulis dalam berbagai bidang.
C. Penutup
Sastra Melayu Klasik adalah sastra lama yang lahir pada masyarakat lama atau tradisional yakni suatu masyarakat yang masih sederhana dan terikat oleh adat istiadat.Sastra Melayu klasik adalah sastra yang berbentuk lisan yang tercipta dari suatu ujaran atau ucapan. Karakteristik sastra klasik Nusantara adalah anonim, bertema istana sentris, bernilai budaya lokal, disebar secara lisan, didaktis, tradisional, imitatif, dan universal.Contoh lisan sastra klasik terbagi dua bentuk. Bentuk yang pertama adalah puisi, terdiri atas mantra, bidal, talibun, seloka, gurindam, pantun, karmina, stanza, dan sonata. Bentuk yang kedua adalah prosa terdiri atas dongeng, mite, fabel, sage, dan hikayat.
Daftar Pustaka
Agni. 2008. Sastra Indonesia Lengkap. Jakarta; Hi-Fest Publishing.
Hooykaas, Dr. C. 1953. Perintis Sastera. Jakarta: J.B. Wolters – Groningen.
Purwadi. 2009. Sejarah Sastra klasik. Yogyakarta : Panji Pustaka
Soetarno, Dr. H. 2008. Peristiwa Sastra Melayu Lama. Surakarta : PT Widya Duta Grafika.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Usman, Zuber. 194. Kesusastraan Indonesia I,II. Jakarta: PT Pembangunan.
Komentar
Posting Komentar